Tuesday, December 21, 2010

NESTAPA CINTA

Senja itu di Palestina Selatan, siluet merah masih terlihat garang menyayat langit. Perlahan dan tenang suara-suara senja dengan kalimat Alqur’an terlantun dari masjid nun di sana. Suasana ini menarikku jauh mengingat kembali peristiwa yang merubah semua hidupku. Mengajak pikiranku terfokus pada sepenggal kisah yang mendekam dalam lubuk hatiku. Tiga tahun aku telah berada di kamp mujahidin, di tengah dahsyatnya gurun pasir, bersama saudara-saudaraku, mujahidin fillah. Aku biarkan bayangan kenangan ini bertahan lama dalam ingatanku, ku biarkan ia menguasai diriku, ku biarkan ia memaku diriku pada satu keadaan. Tiga tahun aku bertahan untuk tidak mengingatnya, kapan pun kenangan ini akan muncul maka segera kunafikanan. Ku pendam sedalam-dalamnya dalam benakku, tak pernah ada yang tahu. Tiga tahun aku tak pernah dialogkan kisah ini, meski pun pada diriku sendiri. Tetapi hari ini aku tak dapat mengekangnya lagi. Ku dengar dari kejauhan al Baqarah yang mulia sampai pada ayat “...Engkau akan sampai pada posisi menyukai sesuatu, pada hal  ia keburukan untukmu. Engkau akan sampai pada posisi membenci sesuatu, padahal ia kebaikan untukmu...”. Ku rasakan basah di pipiku. Sejenak aku terlonjak, “ah…, ini air mata”. Aku terkejut, aku menangis. Hatiku bergetar, perlahan bahuku terguncang, air mataku menetes. Ya Allah aku menangis. Aku tak mampu lagi menahan kepedihan ini. Maafkan aku ya Allah.
Tiga tahun yang lalu, aku bukan Syahni yang hari ini. Aku seorang direktur pada perusahaan BUMN yang bergerak dalam bidang pertambangan. Perlu diketahui ku peroleh posisi ini dengan keringat tak berhenti, dengan sakit tak berperi, kerja keras dan pengorbanan. Aku tumbuh besar dalam keprihatinan, kegelisahan dan duka. Jangan pernah mengadu susah padaku, karena aku adalah duka, aku adalah nestapa itu sendiri. Aku lahir tanpa ibu tanpa ayah, jangan dulu tertawa. Katanya ibuku adalah seorang pelacur, sedangkan ayahku seorang penjudi yang kerap menggauli ibuku tanpa ikatan pernikahan. Ayahku mati terbujur dengan 33 tusukan pada tubuhnya, karena tidak membayar setelah menggauli ibuku. Mayatnya ditemukan hanyut di aliran sungai bercampur dengan sampah dan kotoran. Sedangkan ibuku meninggal 10 menit sebelum aku dilahirkan. Sehingga perutnya harus dibelah untuk mengeluarkanku. Aku lahir dengan selamat, entah itu perlu disyukuri atau tidak. Jelas bahwa aku yatim piatu sebelum dilahirkan. Akhirnya hanya sebuah panti asuhan yang mau menampungku. Tidak ada satu manusia pun yang mengaku berkerabat dnegan ibuku, kuanggap saja ia manusia tunggal, terlahir dan hidup tanpa keluarga dan sanak saudara.
“Anak sial, kau dipanggil Bunda Asrama”, panggil Parno. Jangan heran dengan panggilanku. Di panti ini mungkin orang sudah lupa namaku yang sesungguhnya. Anak sial, nama ini lebih akrab bagiku. Mereka memberikan nama ini kepadaku karena mereka menganggap aku selalu membawa sial bagi siapa pun, aku juga tak pernah protes. Bisa saja mereka benar, karena proses kelahiranku sudah membawa sial ayah dan ibuku. Aku bertanya dalam hati, kenapa Bunda memanggilku. Ku telusuri koridor menuju kantor Bunda dengan lesu, ku ingat sedaya mungkin apa kesalahan yang ku perbuat hari ini. Oh…, aku tadi tidak sholat subuh, tidak membersihkan toilet, mengambil jatah sarapan Andi, memukul Tono, merokok, memecahkan piring, membakar gorden kamar belakang, mencuri mangga tetangga, stop! Aku berhenti sejenak. “Ya, aku bersalah”, gumamku pasrah. Ku dengar suara-suara di kantor Bunda. Aku masuki ruangan itu dengan tertunduk “Assalamu’alaikum”. ”Wa’alaikum salam, tunggu di sana ya Syahni” suara lembut itu seperti biasa memberi ksejukan bagiku. Aku duduk di kursi yang kuperkirakan sudah sangat tua, jelasnya ia lebih tua dariku yang sekarang sudah 16 tahun. Mataku tertuju pada gambar Garuda Pancasila, ku pikir cukup indah juga sebagai lambang negara ini meski pun ku perhatikan ia terlalu lusuh dan kusam. Kualihkan pandangan pada gambar presiden dan wakilnya, gagah benar. Kata Bu Dahlia mereka Bapak bangsa ini, sehingga siapa pun di Indonesia ini yang lahir tidak ada yang yatim piatu, aku sih percaya aja. Beberapa saat kemudian Bunda dan tamunya mendatangiku. Tamunya seorang lelaki besar, tinggi dan seram kalau boleh kutambahkan. “Ini anaknya, Bu”, katanya berat. Bunda menjawab “Syahni, namanya Pak”. “Sudah bisa saya bawa”, katanya singkat. Aku tersentak, percakapan mereka sepertinya menganggap aku ini benda mati. “Syahni, mulai hari ini engkau hidup dengan Bapak ini”, suara dan wajah lembut Bunda membelaiku dengan mesra. “tapi, Bunda”. “Sudah! ayo kita berangkat” lelaki itu berkata tanpa melihatku, meski pun ku sadari sedari tadi ia tak pernah melihatku. “Bagaimana, pakaian dan barang-barangku”. “Nanti saya belikan, Bu kami permisi”. Ia berjalan di depanku, tanpa sedikit pun menoleh bahkan tidak menungguku. “Ia orang baik, ikutilah dia, jaga dirimu baik-baik, Syahni”. Aku tak dapat menolak, ku kejar Bapak itu menuju lapangan parkir.
Aku sampai di rumahnya, bukan lebih tepatnya istana. Para pelayan menyambut kami di ruang tengah, “ada yang akan tinggal bersama kalian”, Bapak berkata. Semuanya terdiam sambil tertunduk, mereka 6 perempuan dan 11 laki-laki. Aku juga tak dapat bereaksi, aku hanya tertegun. “Siapa namamu?”, tanyanya tiba-tiba. Aku terkejut “sial Pak, eh….Syahni”, jawabku gelagapan. “Besok kau mulai melanjutkan SMU-mu, kau hanya punya 5 tahun untuk hidup bersamaku, manfaatkanlah sebaik-baiknya, dan jangan pernah menangis!”. Kemudian ia pergi begitu saja. “ya”, jawabku dalam hati, aku pun takkan pernah mau menangis.
Aku bersekolah di SMU No. 1 di kota ini. Yang ku tahu hidupku hanya penuh dengan belajar. Aku murid terpintar secara kesepakatan pihak sekolah, tak ada yang membantah bahwa aku adalah yang terpintar. Kehidupanku hanya sekolah, les, kamar dengan setumpuk buku. Prestasiku tak lagi terhitung. Aku tak pernah bergaul dengan teman-teman. Mengenai wanita, bisa dikatakan tak satu pun di sekolah yang aku kenal dengan baik wajah dan namanya. Masa-masa di SMU kulalui dengan sangat baik dengan setumpuk penghargaan dan prestasi. Hari ini ku akhiri kehidupanku di SMU, aku mendapat tugas memberi beberapa kata perpisahan sebagai murid dengan nilai terbaik. Sekedar basa-basi munafik di depan orang banyak. Tak banyak yang kusampaikan, hanya sebuah pesan kosong ”di mana pun engkau berada, jadilah yang terbaik!”. Kata-kata ini yang selama ini kujadikan pegangan. Aku harus jadi yang terbaik di antara manusia, agar tak ada lagi yang memanggilku ‘anak sial’. Acara perpisahan diakhiri dengan terima raport dan ijazah, aku tidak didampingi ibu terlebih ayah. Aku duduk disamping supir Bapak. Madi, namanya. Ia tersenyum padaku “apa bisa saya yang ambil raportmu, Syahn?”. “Bayar, terus ambil aja”, jawabku singkat. Aku sedikit pun tidak merasa sedih, terlebih lagi iri, meski pun selintas ku dengar beberapa suara mengatakan “kasihan sekali, anak itu sangat pintar tetapi tidak ada orang tuanya”. “Jangan ambil pusing, urusi saja urusan kalian”, jawabku dalam hati.
Malam itu, di ruang makan, Bapak menghampiriku. Aku tergagap, sudah tiga tahun berlalu dan ia tak pernah berbicara kepadaku, bahkan kusadari dia tidak pernah melihatku. Kharismanya mematikan egoku, aku pun tertunduk tak sanggup melihat wajahnya, aku pun tak lagi ingat wajahnya. “Tiga tahun sudah berlalu, kau sudah tamat SMU, besok kau tentukan di mana kuliahmu, 2 tahun lagi manfaatkan dengan sebaik-baiknya, dan jangan pernah menangis!”. Ia berlalu dan tak pernah lagi kulihat, ku katakan pada diriku ”aku takkan mau menangis”. Aku tak butuh waktu lama untuk menentukan dimana harus berkuliah. Sebuah institut yang sangat terpandang di kota ini tentunya menjadi pilihanku. Seleksi hanya sebuah langkah ringan untukku.
Kehidupan kampus mulai kujalani, kuakui begitu sangat mudah bahkan membosankan. Dosen-dosen yang mengajarku jelas tak lebih baik dariku, bahkan mereka masih primitif dalam displin ilmu pertambangan dan energi yang kuambil. Mereka hanya pendongeng yang kemudian bingung untuk mengakhiri dongengnya. Setahun masaku di kampus membuat aku sangat jenuh, sehingga aku bertekad harus meninggalkan kandang dongeng ini. Ku telusuri dunia maya melalui internet di kamarku, kucari tahu apa yang sangat menantang dalam persoalan pertambangan dan energi. Sampilah aku pada situs Oxford University, sejenak aku tertegun. Mereka di sana juga sedang bingung dengan pengadaan energi dunia, sederhananya mereka buntu dalam upaya mengusahakan metode terefektif dan terefesien dalam menggali tambang energi. Aku bertekad dalam jangka 6 bulan persoalan ini akan kuselesaikan. Satu tantangan baru memacu semangatku, seperti biasanya tak ada lagi yang dapat mengalihkan perhatianku dari tujuan yang ingin kudapatkan. Bangku kuliah ku tinggalkan, kamarku berubah menjadi laboratorium mini. Semua yang mendukung penelitianku dengan mudah ku dapatkan, tentunya dari si Bapak dan kekayaannya. 6 bulan berlalu, dengan yakin kukatakan aku berhasil. Lembaran tulisanku mengenai persoalan energi dan pertambangan sekarang sudah di hadapan Rektor.
Sejenak Bapak Rektor terdiam, memandangku lama, kemudian kembali mengalihkan mata kepada tulisanku yang sudah semingggu berada padanya. Ku lihat kertas-kertasnya sudah lusuh dan terlipat di sana-sini, mungkin ia begitu asyik membacanya. Ia bertanya “engkau masih semester 3”, aku mengangguk. Ia tertunduk mengamati kembali hasil penelitianku. “engkau jenius, apa yang kau inginkan dari penelitian ini”. “Aku ingin gelar dan pergi dari kampus ini”, jawabku tanpa ragu. “di Oxford-Inggris, itu bisa dilakukan, tetapi tidak disini” jawabnya mengakhiri jumpa kami. Aku pulang ke rumah dengan sebaris terima kasih kepada Pak Rektor, karena meski pun ditolak, ia telah memberiku petunjuk untuk mengirim penelitianku ke Oxford, walau pun tidak disadarinya. Aku harus menghubungi pihak Oxford. Hanya butuh waktu sebulan ku dapatkan jawaban “you’re amazing”. Aku pun dianugerahi sarjana oleh mereka. It’s so easy! Aku tertawa begitu senang. Kenapa aku begitu senang, karena Oxford juga dengan sangat yakin merekomendasikanku untuk bekerja di salah satu perusahaan BUMN pertambangan di negara ini. Aku dipekerjakan sebagai manajer, aku berhasil dan mungkin juga tetap membawa sial bagi para pesaingku.
Lima tahun telah ku capai, sekarang aku manajer, dikagumi dihormati bahkan terlalu disanjung. Bapak memanggilku hari itu, posisiku sebagai manajer tak juga dapat menjadikanku berani untuk memandangnya. Aku tertunduk memandang garis-garis lantai tempat aku berpijak. Bapak berkata “sudah lima tahun”, ia terhenti sejenak. Aku semakin tidak keruan, kepalaku seakan ingin meledak. “kehidupanmu bersamaku sudah berakhir, besok kau harus pergi dari rumah ini hanya dengan pakaian yang kau pakai”. Ia melangkah menjauh dariku, tepat di depan pintu dan aku masih tertunduk, dia berkata “dan jangan pernah menangis!”. “Ya, tidak akan menangis” gumamku dalam hati. Keesokannya aku pergi, kepergianku bukanlah apa-apa, tidak seorang pun melepas kepergianku. 16 manusia di rumah itu sedikit pun tidak memandang ketika aku pergi, tidak satu pun yang melihatku, apa lagi menegurku. Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Kebersamaan dengan mereka selama ini bukan apa-apa, aku hanya singgah, pergi dan dilupakan.
Jangan katakan aku bersedih, sedikit pun aku tak bersedih. Sekarang aku sudah punya kehidupan, aku manusia yang dihormati. Masih muda dan sangat ambisius,  begitu ku dengar orang-orang berkata tentangku. Di bawah kepemimpinanku perusahaan maju pesat, karena aku mesin yang berwujud manusia. Berapa banyak pegawai yang menggerutu bila melihatku, meski pun dalam hati saja. Karena bersamaku tidak ada waktu kecuali hanya bekerja. Tadi pagi aku baru saja dipromosikan menjadi direktur. Aku tidak terkejut atau bangga, sangat biasa untukku. Masih juga di pagi hari, 6 orang pegawaiku menangis meminta belas kasihanku, dan keluar dengan tertunduk sedih dari kantorku. Terkadang aku berkata dalam hati “gampang sekali mereka menangis? dasar bodoh! kalian tidak akan pernah dapat belas kasihanku, mau uang ya kerja”. Aku sadar mereka mencaci maki diriku, tapi kukatakan bahwa aku sudah kebal caci-maki, mereka hanya membuang energi di saat dunia ini lagi krisis energi.
Selasa itu, hari yang merubah hidupku. Porsche yang ku kendarai menabrak seorang wanita. Aku sendiri yang menyetir mobilku, karena aku tidak mau membayar seseorang untuk menyetir mobilku. Wanita itu menjerit, terjatuh dan terbaring di depan roda Porsheku. Ku lihat sekeliling, sepi. Ku masukkan gigi mundur, aku akan tinggalkan wanita ini. Segera aku melaju. Ku lewati tubuhnya yang terkapar tak sadar. Ku lihat wajahnya, ada yang mengusik di benakku, aku terlonjak. Kakiku tanpa ku sadari menginjak keras pedal rem, mobilku berhenti mendadak. Aku bergerak, keluar dari mobil, mengangkat tubuhnya, meletakkanya di bangku belakang, dan sekarang berada di rumah sakit. Aku termenung di sampingnya yang masih belum juga sadar. “Apa yang kulakukan? apakah aku mengasihaninya?”. Ku pandang wajah gadis berjilbab itu, jilbabnya masih menutup rambutnya. Aku melarang perawat untuk membukanya karena aku sadar ia beragama Islam yang sangat menghargai jilbab dan auratnya. Tadi dokter memberitahuku bahwa ia tidak terluka parah, ia hanya mengalami kejutan pada jantungnya.
Dua hari aku berada di rumah sakit, dua hari aku sudah absen dari pekerjaanku. Ini tidak masuk akal. Sudah dua hari ini juga aku bersama keluarganya, gadis itu bernama Ainy. Dua hari ia juga belum sadar. Ku lihat wajah ibunya yang begitu sedih, dan ku tahu tadi malam ia tidak tidur, ku tahu ia bertahajjud. Sedangkan aku hanya melihat, aku ingin berdo’a, tetapi aku malu, aku tak pernah melakukannya. Siang itu aku diajak sholat oleh adiknya, Bahrum yang baru berumur 7 tahun, Ainy dan adiknya sudah lama ditinggal ayah, ayah meerka meninggal 6 tahun yang lalu. Sholat, aku tergagap. Sudah 9 tahun aku tak pernah lagi sholat. Seakan dihipnotis ku ikuti langkah kecilnya. Tiba-tiba ia berbelok ke arah kamar mandi, spontan aku bertanya, “mau kemana?”, “mau berwudhu’”, jawabnya. “Oh iya”, jawabku tersadar. Aku baru ingat sholat harus dengan wudhu’. Hari itu aku sholat dzhuhur, selesai sholat kami keluar dari mushola kecil itu. “Bang, sudah berdo’a untuk kakak?”, tanyanya. “Sudah”, jawabku berbohong. Ia tersenyum kemudian berjalan di depanku. Tak kusadari hatiku berkata “Ya Allah, Ya Tuhan, Siapa Pun Engkau, Yang bisa menjawab do’a, kabulkan do’aku, sadarkan Ainy dari pingsannya, aku memohon”. Aku sudah berdo’a.
Hanya berselang 2 detik dari doa’ku, Bahrum memanggilku “Bang, Kakak sudah siuman”. Aku masuk ke ruangan itu, ada perasaan senang yang tak dapat ku gambarkan dalam hatiku. “Inilah orang yang membawamu ke rumah sakit, dia yang menyelamatkan dan membiayai perawatanmu, Ainy” Ibunya berkata “terima kasih, Bang”, kata Ainy pelan. “Iya” aku tertunduk merasa bersalah, karena aku membohongi mereka, aku tidak mengaku bahwa aku telah menabraknya. Aku mengaku penolongnya. Dasar aku yang biadab.
Empat hari bersama Ainy dan keluarganya membuatku lupa akan segalanya. Lupa pekerjaan, karir, ambisi, bahkan ego-ku. Aku merasa senang berada di samping Ainy, aku tak ingin melihat ia bersedih, aku tak rela melihat ia sakit dan terluka. Rumahku sekarang adalah rumah sakit di mana Ainy dirawat. Tak pernah lagi aku pulang ke rumah mewahku. Tadi malam sewaktu ia tidur, aku melihat wajahnya sangat lama. Meski pun aku melihatnya dari luar jendela kamar. Wajahnya memberiku kedamaian. Mungkin aku mencintainya, kalau ini yang disebut cinta. Ku katakan dalam hatiku bahwa aku akan lakukan apa pun untuk membuatnya bahagia, benar aku jujur kali ini.
Hari kelima, Ainy memanggilku. Hanya aku dan dia dalam ruangan itu. Bahrum dan ibunya belum datang. Senyumannya membuatku membeku, aku menunduk, kesombonganku hancur, aku tergugup. Aku yang seorang direktur berdiri kaku seperti anak kecil di hadapan Ainy. “Duduklah, Bang”. Aku langsung duduk tanpa menolak, karena kurasakan kakiku tak mampu menahan tubuhku di hadapan Ainy. “Ainy ingin berterima kasih, abang telah menyelamatkan Ainy”, sejurus kemudian ia terdiam. Aku pun tak berkata apa pun, aku telah takluk di hadapannya. “Sekarang Ainy akan pulang, tolong sampaikan salam dan maaf Ainy pada Ibu dan Bahrum”. Kemudian ia mengucap kalimah tauhid, lalu memejamkan matanya. Suasana jadi sangat lengang, jernih tapi membingungkan. Aku terdiam, sedih, marah, tak rela, panik, aku ingin menjerit. Segera tanganku memencet bel memanggil perawat. Aku berteriak “selamatkan dia, cepat!”. Dokter berkata “dia sudah pergi”. Aku menjerit di ruangan itu. Mereka meninggalkanku dengan mayat Ainy di hadapanku. Aku menangis, benar aku menangis. Ada air mata yang menetes di pipiku.
Kuselesaikan semua urusan rumah sakit, ku tinggalkan Bahrum dan ibunya yang masih bersedih. Ku pacu kencang mobilku tanpa tujuan. Kemudian aku berhenti di sebuah warung . Badanku letih, mataku perih, otak tak lagi dapat berpikir, aku limbung, aku pasrah. Seseorang dengan senyuman lembut menghampiriku “saya Ahmed, apa yang kau inginkan?” ia bertanya. “Aku ingin pergi” jawabku sekenanya. Aku tak tahu kenapa aku menjawab pertanyaannya. “Ikutlah dengan ku ke Palestina”, katanya. “Baiklah”, jawabku cepat.

á á á á á á á á á á á á á á  á   â â â â â ââ â â â â â â â â â

“Azan sudah berkumandang, Engkau menangis saudaraku?” Abbas menegurku. Aku tersentak, kemudian aku mengangguk, ku hapus air mata di pipiku, meski pun aku ingin terus menangis. Waktu maghrib telah tiba. Ku ayunkan langkahku menuju musholla, berdiri di barisan pertama, di antara saudara-saudara mujahidin menghadap Allah yang sangat kucintai. Ku lantunkan do’a untuk Ainy dalam sholatku, untuk Bahrum dan ibunya, untuk seluruh saudaraku di penjuru dunia. Ba’da Isya nanti aku harus mengajarkan saudara-saudaraku cara merakit bom, kami ingin syahid esok dalam cinta dan pelukan Allah di bumi jihad ini. Bumi jihad Palestina.

No comments:

Post a Comment

mohon tinggalkan komentar anda