Tuesday, December 21, 2010

KHITBAH


A.    PENGERTIAN

Kata khitbah dalam terminology arab memiliki 2 akar kata. Yang pertama Al-khitab yang berarti pembicaraan atau berpidato dan yang kedua Al-khatbu yang artinya persoalan, kepentingan dan keadaan. Sedangkan menurut istilah khitbah ialah :



 “ Menunjukkan keinginan seseorang untuk menikahi seseorang yang sudah jelas, kemudian memberitahukan keinginan itu kepada wali perempuan. Terkadang pemberitahuan itu disampaikan langsung oleh peminang atau bias juga melalui perantara keluarganya”[1]

            Meminang adalah merupakan kebiasaan orang Arab yang diteruskan oleh Islam. Meminang dilakukan sebelum terjadinya akad nikah dan setelah dipilih dengan baik, meminang adalah pendahuluan perkawinan, tetapi bukan akad nikah. Jika kita lihat pada saat sekarang ini terkadang orang yang meminang memberi mahar seluruhnya atau sebahagian. Ada juga yang memberikan hadiah-hadiah sebagai penguat ikatan untuk memperkokoh hubungan baru antara peminang dan pinangannya. Tetapi harus kita ingat bahwa semua perkara adalah wewenang Allah. Dalam maslah ini para Ulama berbeda pendapat        :

a.                   Mazhab Hanafi : berpendapat bahwa barang-barang yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada perempuan pinangannya dapat diminta kembali apabila barangnya masih utuh
b.                  Mazhab Maliki : berpendapat bahwa apabila pembatalan itu dating dari pihak calon suami maka barang-barang yang pernah ia berikan tidak boleh ia minta kembali, baik pemberian itu masih utuh atau berubah.
c.                   Mazhab Syafi’i : berpendapat bahwa hadiah harus dikembalikan kepada peminangnya. Baik pemberian itu masih utuh ataupun sudah berubah, baik pembatalan itu dating dari pihak laki-laki maupun perempuan.[2]

Ketika melakukan pinangan atau meminang seorang perempuan maka kita harus memenuhi syarat, dalam hal ini ada 2 syarat yang harus kita penuhi :
  1. Tidak didahului oleh pinangan laki-laki lain secara syar’I, berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
  2. Yang dipinang tidak terhalang dengan halangan syar’i yang menyebabkan tidak dapat dinikahi. Larangan-larangan itu antara lain :
    • Wanita bersuami
    • Wanita yang haram dinikahi untuk waktu tertentu atau selamanya
    • Wanita dalam masa ‘iddah, baik ‘iddah ditinggal mati suami atau karena thalak baik thalak raj’i ataupun ba’in. apabila masih dalam iddah raj’i haram dipinang karena dia masih menjadi hak suaminya. Karena suaminya masih berhak merujuknya dengan akad baru, tetapi boleh dipinang dengan sindiran atau kinayah. Apabila wanita itu sedang iddah karena ditinggal mati oleh suaminya, ia boleh dipinang dengan sindiran diamasa iddahnya, sebab hubungannya dengan suami yang mati sudah putus.
Sebab diuharamkannya meminang dengan terang-terangan disini adalah untuk menjaga perasaan isteri yang sedang berkabung, untuk menjaga perasaan keluarga dari ahli waris. Allah SWT berfirman surah Al-baqarah :235            :
Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù OçGôʧtã ¾ÏmÎ/ ô`ÏB Ïpt7ôÜÅz Ïä!$|¡ÏiY9$# ÷rr& óOçF^oYò2r& þÎû öNä3Å¡àÿRr& 4 zNÎ=tæ ª!$# öNä3¯Rr& £`ßgtRrãä.õtGy `Å3»s9ur žw £`èdrßÏã#uqè? #ŽÅ  HwÎ) br& (#qä9qà)s? Zwöqs% $]ùrã÷è¨B 4 Ÿwur (#qãBÌ÷ès? noyø)ãã Çy%x6ÏiZ9$# 4Ó®Lym x÷è=ö6tƒ Ü=»tFÅ3ø9$# ¼ã&s#y_r& 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ãNn=÷ètƒ $tB þÎû öNä3Å¡àÿRr& çnrâx÷n$$sù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# îqàÿxî ÒOŠÎ=ym ÇËÌÎÈ  
235. dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.


B.     HUKUM KHITBAH

Mayoritas ulama’ mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakikat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan. Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi syarat-syarat di bawah ini :
·         Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga (mahram), tunggal susuan (radha’ah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan akad perkawinan.
·         Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits yang di riwayatkan Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nasai mengatakan “tidak boleh seorang lelaki melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya”. Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim. Keharaman ini jika tidak mendapat izin dari pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari pihak mempelai wanita, ini adalah pendapat mayoritas ulama (Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah). Namun sebagian ulama lain membolehkan khitbah teersebut apabila tidak ada jawaban yang jelas dari mempelai wanita.

C.     MELIHAT TUNANGAN

Agar kehidupan suami isteri berjalan dengan baik, sejahtera dan tenteram maka calon suami terlebih dahulu melihat calon isteri yang akan ia pinang sehingga dapat diketahui kecantikannya yang bisa menjadi satu faktor pendorong untuk mempersuntingnya atau untuk megetahui cacat celanya yang bisa jadi penyebab kegagalannya sehingga berganti mengambil orang lain. Karena orang yang bijaksana tidak mau memasuki sesuatu sebelum ia tahu betul baik buruknya. Adapun tempat-tempat yang boleh dilihat menurut jumhur ulama’ ialah muka dan telapak tangannya. Dengan melihat mukanya maka dapat diketahui cantik jeleknya, dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui badannya subur atau tidak.[3]
Tentang melihat wanita yang di pinang telah terjadi ikhtilaf dikalangan para ulama’, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh di lihat. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat rambut, betis dan lainnya. Berdasarkan sabda Nabi SAW “melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya”. Adapun pendapat Imam Mazhab tentang batasan yang boleh dilihat ialah :
·   Abu Hanifah

"memperbolehkan untuk melihat kedua telapak kaki wanita yang dipinang."

·   Hanabilah mengatakan





 "boleh melihat wanita yang dipinang pada 6 anggota tubuh yaitu : muka, tangan, telapak kaki, lutut, betis dan kepala. Dikarenakan melihat keenamnya merupakan kebutuhan yang mendukung berlangsungnya pernikahan, hal ini juga berdasarkan hadits Nabi “lihatlah kepada dia (wanita yang dipinang)”. Juga berdasarkan apa yang pernah dilakukan Umar dan Jabir. Wahbah Zuhaily menganggap ini yang paling benar tetapi ia tidak pernah memfatwakannya."

·   Bahkan dalam Mazhab Zhohiriyah (Daud az-Zhohiry)


"diperbolehkan melihat seluruh tubuh"[4]

D.    PEMBATALAN KHITBAH

Dalam melangsungkan proses khitbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh kedua belah pihak (ikhwan dan akhwat) terhadap keadaan, karakter, sikap dan sebagainya satu dengan yang lainnya. Sehingga berkaitan dengan fungsi khitbah itu sendiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang di dalamnya terdapat aktifitas saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh lagi dengan cara yang ma’ruf. Maka apabila dalam aktifitas ta’aruf tersebut salah satu pihak menilai dan mempertimbangkan adanya ketidak cocokan antara dirinya dengan calon pasangannya ataupun sebaliknya, maka ia berhak untuk membatalkan khitbah tersebut.
Pembatalan khitbah adalah hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan. Menganggap hal ini berlebihan merupakan perbuatan yang keliru, misal ada anggapan bahwa pembatalan khitbah terjadi karena adanya penilaian bahwa salah satu calon bagi calon lainnya memiliki banyak kekurangan, kemudian ia pun menganggap sebagai pihak yang tidak akan pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya (setelah diputuskan cintanya) karena saat ini pun kekurangan-kekurangan tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan khitbahnya dengan seseorang. Padahal itu hanyalah sikap skeptis yang muncul pada dirinya karena lebih terdorong oleh emosional dan kelemahan iman.
Seperti halnya dalam mengawali khitbah maka ketika akan mengakhiri khitbah dengan pembatalan pun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi ketentuan syara’. Dalam membatalkan khitbah hal yang perlu diperhatikan adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan itu terjadi. Misalnya salah satu ataupun kedua belah pihak menemukan kekurangan-kekurangan pada diri calonnya dan ia menilai kekurangan tersebut bersifat prinsip (fatal) seperti dimilikinya akhlaq yang rusak (gemar bermaksiat), berpandangan hidup yang menyimpang dari mabda Islam, memiliki kelainan seksual, berpenyakit menular yang membahayakan, serta alasan-alasan lain yang dinilai dapat menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga nantinya apabila berbagai kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah.
Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut, pembatalan khitbah juga berlaku apabila adanya qadha dari Allah SWT semisal kematian yang menimpa salah satu calon ataupun keduanya sebelum dilangsungkannya akad pernikahan. Selain atas dasar alasan-alasan syar’i, maka pembatalan khitbah tidak boleh dilakukan, karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama lainnya dan merupakan cirri dari orang-orang munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak yang dikhitbahnya. Rasulullah SAW bersabda :

أية المنافق ثلاثة    : إذا حدث كذب, وإذا وعد أخلف, و إذا ئتمن خان
 “sifat orang munafik itu ada 3 : Apabila ia berkata ia berdusta, apabila ia berjanji ia ingkar, apabila ia dipercaya ia khianat” (HR.Bukhari).















2.      AKAD NIKAH
A.    PENGERTIAN

Akad berasal dari bahasa arab ‘aqada yang berarti mengikat. Sedangkan menurut istilah ialah keridhaan laki-laki dan perempuan serta persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga dengan tali pernikahan. Karena perasaan ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata, maka harus ada simbolisasi yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan suami isteri. Simbolisasi itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad.



"akad ialah ikatan terhadap bagian-bagian yang bersebrangan, atau di artikan juga dengan ijab dan qabul (dalam pernikahan). Yang dimaksud dengan akad dalam hal ini yaitu makna asalnya yang berarti ikatan.[5]

Pernyataan pertama sebagai pernyataan kemauan untuk membentuk hubungan suami isteri disebut "ijab". Dan pernyataan kedua yang dinyatakan ooleh pihak yang mengadakan akad berikutnya untuk menyatakan rasa ridha dan setuju disebut "qabul".[6] Maka dari penjelasan ini sudah jelas bahwa akad ialah perkataan tentang penawaran dan penerimaan secara syarat. Karena nikah adalah perjanjian berat, kita harus menghayati ucapan ijab dan qabul. Salah satu syarat ijab qabul ialah kedua belah pihak memiliki sifat tamyis (mampu membedakan baik dan buruk), sehingga ia harus memahami perkataan dan maksud dari ijab qabul itu. Diatas pemahaman terhadap maksud ijab qabul ada penghayatan.
Setelah khitbah dilaksanakan tidak ada batas minimal ataupun maksimal untuk melaksanakan akad nikah. Seandainya acara khitbah langsung  diteruskan dengan akad nikah itu boleh saja dilakukan, walaupun untuk masyarakat Indonesia itu tidak lazim dilakukan. Yang menjadi masalah adalah ketika akad nikah dilakukan dalam rentang waktu yang lama setelah khitbah dilaksanakan, peluang timbulnya fitnah akan lebih besar. Resikonya besar untuk keduanya melakukan hal-hal yang dilarang Allah. Selain itu disatu sisi ia tidak boleh menerima pinangan dari orang lain, sedangkan disisi lain ia belum menjadi seorang isteri.

B.     SHIGHAT

Shighat yang berasal dari bahasa arab yang berarti meresap, sedangkan menurut istilah sesuai dengan pendapat Imam Mazhab         :
·         Menurut Imam Maliki            : shigat ialah
 صيغة هي اللفظ الذي يتحقق به العقد شرعا
       "lafaz yang terkandung didalamnya akad secara syara'".

·         Menurut Imam Hanafi           : صيغة هي عبارة عن الإجاب و القبول
"shigat ialah perkataan yang didalamnya ada ijab dan qobul".

·         Menurut Jumhur Ulama':



"sighat terdiri dari ijab dan qobul. Ijab merupakan ucapan yang keluar dari wali(pihak wanita) atau yang mewakilinya. Sedangkan qobul ucapan yang keluar dari mempelai pria sebagai kesediaan menerima pernikahan."[7]





C.     SYARAT IJAB QABUL

Dalam hal ijab dan qabul ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami dan calon isteri yaitu            :
a)            Kedua belah pihak sudah tamyiz, jika salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil  dan belum tamyiz (dapat membedakan bener dan salah) maka pernikahannya tidak sah.
b)            Ijab qabulnya dalam satu majelis, yaitu ketika mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat diangggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab qabul. Akan tetapi dalam ijab qabul tidak ada syarat yang harus langsung. Sekiranya majelisnya berjalan lama dan antara ijab dan qabul ada tenggang waktu, tetapi tanpa menghalangi upacara ijab dan qabul maka tetap di anggap satu majelis. Pendapat ini sama dengan pendapat Imam Hanafi dan Hambali dalam kitab Al-Mughni disebutkan  ("bila ada tenggang waktu antara ijab qabul maka hukumnya tetap sah, selagi dalam satu majelis yang tidak diselingi sesuatu yang mengganggu").
c)            Antara suami dengan wali sama-sama saling dengar dan mengerti apa yang diucapkan. Bila masing-masing tidak paham apa yang di ucapkan oleh lawan bicaranya maka akad itu tidak sah.
d)           Antara ijab dan qabul tidak bertentangan, misalnya bunyi lafaz ijab yang diucapkan oleh wali adalah "aku nikahkan kamu dengan anakku dengan mahar1 juta" lalu lafaz qabulnya diucapkan oleh suami adalah "saya terima nikahnya dengan mahar 1/2 juta". Maka antara keduanya tidak nyambung dan ijab qabul ini tidak sah. Namun bila jumlah mahar yang disebutkan dalam qalbu lebih tinggi dari yang diucapkan dalam ijab maka hal itu sah.





D.    LAFAZ IJAB QABUL

a)            Tidak harus dalam bahasa arab, Tidak diharuskan dalam ijab qabul untuk menggunakan bahasa arab , melainkan boleh menggunakan bahasa apa saja yang intinya kedua belah pihak mengerti apa yang ucapkan masing-masing saling mengerti apa yang dimaksud oleh lawan bicaranya . Sebaiknya ijab menggunakan kata nikah , kawin atau yang semakna dengan keduanya . Sedangkan bila menggunakan kata " hibah " memiliki , membeli dan sejenisnya tidak dibenarkan oleh Asy-Syafi'I , Ibnu Musayyib Ahmad dan Atho . Sebaliknya Al-Hanafiyah membolehkannya . Demikian juga dengan Abu Tsaur , Ats-Tsauri , Abu Ubaid dan juga Abu Daud .






Menurut ulama-ulama hambali mengatakan

"Tidak boleh menikah atau melakukan ijab dan qabul kecuali dengan bahasa arab lagi yang mampu ."
B) Dengan Fi'il Madhi , Selain itu para fuqaha mengatakan bahwa lafaz ijab dan qabul haruslah dalam format fiil madhi ( past ) seperti zawwajtuka atau anahtuka . Fi'il madhi adalah kata kerja dengan keterangan waktu yang telah lampau . Sedangkan bila menggunakan fi'il mudhari' , maka secara hukum masih belum tentu sebuah akad yang syah . Sebab fiil mudhari' masih mengandung makna yang akan dating dan juga sekarang . Sehingga masih ada ihtimal ( kemungkinan ) bahwa akad itu terjadi atau belum lagi terjadi .


DAFTAR PUSTAKA


1.      Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus : Dar al-Fikr,1985)
2.      Fiqhu As-Sunnah,Sayyid Sabiq,jilid III
3.      Abdurrahman al-Jazairy,al-Fiqhu ‘Ala Mazahibil Arba’ah, juz IV




1.       [1]Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus : Dar al-Fikr,1985), h.10
[2]Abdurrahman al-Jazairy,al-Fiqhu ‘Ala Mazahibil Arba’ah, juz IV,h. 9
[3]Fiqhu As-Sunnah,Sayyid Sabiq,jilid III,h.508-509
[4] Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus : Dar al-Fikr,1985), h.23-24
[5] Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus : Dar al-Fikr,1985), h.37
[6] Fiqhu As-Sunnah,Sayyid Sabiq,jilid III,h.515
[7] Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus : Dar al-Fikr,1985), h.37

No comments:

Post a Comment

mohon tinggalkan komentar anda