Tuesday, December 21, 2010

Lafaz Ditinjau Dari Segi Hakikat Dan Majaz

A.     Pendahuluan

Usul Fikih adalah ilmu yang mempelajari hukum islam secara Mujmali, dimana ushul fiqh adalah hanya menjabarkan kaidah-kaidah dan dengan kaidah itu akan melahirkan  Hukum,   oleh para ulama menuangkan hukum tersebut kedalam ilmu fiqih guna untuk diaplikasi dalam kehidupan. Sehingga mereka akan terarah kehidupan nya baik bersifat haqqullah maupun haqqul ‘ibad.
Penerapan atau penetapan hukum dalam suatu masyarakat bertujuan untuk mengendalikan kehidupan masayarakat itu sendiri. Hukum adalah suatu system yang ditegakkan untuk melindungi hak individu dan masyarakat. Sistem hukum disetiap masyarakat memiliki sifat , karakteristik, dan ruang lingkup tersendiri. Demikian juga dengan Islam , memiliki system hukum yang dikenal dengan fiqh.[1]
Alquran dan Sunnah sebagai  sumber  hukum Islam, sebagian besar masih bersifat umum atau global. Memuat prinsip-prinsip dasar dan pesan-pesan moral.  Karakteristik Alquran yang demikian itu menunjukkan bahwa manusia diberi wewenang untuk melakukan interpretasi dan penjabaran sesuai dengan kondisi social disetiap umat.
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, para Ulama dalam melakukan intrerpretasi terhadap teks-teks nash atau menetapkan hukum  dari persoalan baru muncul, banyak terjadi perbedaan tersebut bukan semata-mata berbeda  dalam memahami teks nash, tetapi juga karena perbedaan kondisi dan situasi masayarakat yang mengintari kehidupan mereka.[2]
Kemudian setiap lafadh mengandung arti dan maksud tertentu yang dapat dipahami oleh seseorang ketika ia mendengar lafad itu diucapkan, atau ketika ia membaca lafad tersebut dalam tulisan, lafad dari sisi pengunanaan dan digolongkan kepada dua golongan yaitu Haqiqah dan Majaz, sedangkan dari sisi kejelasan untuk menyampaikan kepada suatu maksud , maka lafad itu dikelompokkan kepada lafad sharih dan kinayah. Berdasarakan hal tersebut maka penulis hanya mengkaji pada pengunaan lafad nya saja yaitu haqiqat dan majaz.

B.      al-Wadh,i’, al-Isti’mal, al-Haml
Asal  pengunaan kata yang pada prinsipnya adalah secara wadhi’ ( semestinya) namun barangkali disebabkan oleh kondisi yang menghendaki untuk meletakkan kata-kata yang tidak pada tempat yang sebenarnya, karena didukung oleh Qarinah yang mengiringinnya. Sementara Prof. Dr. Rahmad Syafi’i MA menyebutkan pengertian Wadhi’ adalah menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain[3]. Adapun macam-macam hukum Wadhi’ diantaranya adalah sebab, Syarat, Mani’ (Penghalang), Shihah, Bathil, Azimah dan Rukhshah. Dari dua pengertian tersebut menurut penulis sama dalam pengertiannya. Maka bila kata tersebut kurang jelas  maka  Di Haml ( ditangungkan ) kepada kalimat yang lainnya karena dianggap kalimat tersebut lebih relevan baik dari sisi kondisi, keidahan bahasa dalam pengungkapan dan alasan-alasan yang lain.[4]
Atas dasar itulah para ulama ushul fiqh  mengisti’malkan (memakai)  kata-kata dalam mengistibatkan suatu hukum, dengan istilah kata Haqiqat dan kata Majaz. Maka untuk membedakan dan memahami kata tersebut baik dengan cara Samai’ (pendengaran) yaitu dari pendengaran terhadap apa yang biasa diungkapkan oleh dengan gaya berbahasa.

C.     Lafaz Haqiqat.
Pengertian lafaz haqiqat para ulama memberikan definisi yang berbeda, perbedaan tersebut hanya dalam perumusan saja, sedangkan pengertiannya hampir sama.
a.       Menurut Ibn Subki :
هواللفظ المستعمل فى ما وضع له ابتداء.
Lafad yang digunakan untuk apa lafad itu ditentukan pada mulannya.[5]
b.      Ibnu Khudhamah memberikan definisi haqiqat adalah
هو اللفظ المستعمل فى موضوعه الأ صلى
Lafad yang digunakan untuk sasaranya semula.[6]

c.       As-Sarkhisi.
كل لفظ هو موضوع فى الأصل لشيء معلوم .
Sesuatu lafaz yang ia tentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang tertentu[7]
Berdasarkan beberapa definisi tersebut diatas menngendung pengertian tentang haqiqah, yaitu lafad yang digunakan menrut asalnya untuk maksud tertentu, maksudnya adalah lafad itu digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki.[8] Maksud lafad tersebut dirumuskan oleh ahli bahasa adalah untuk mudahkan memahami dalam pengunaan bahasa tersebut, sebagai contoh, kata “Kursi” menurut pengertiannya asal  kursi adalah tempat tertentu yang memiliki tempat sandaran dan kaki, meskipun demikian  kata tersebut digunakan untuk pengertian “kekuasaan”  namun yang menjadi tujuan asal kata kursi adalah tempat duduk yang punya sandaran dan kaki, sedangkan bila kata tersebut digunakan untuk sasaran pada yang lain maka kata itu disebut dengan Majaz.

Dari segi ketetapannya haqiqah dibagi kepada beberapa bahagian diantaranya adalah :
1.      Haqiqah Lughawiyah, yaitu lafad yang ditetapkan oleh bahasa itub sendiri. Atau lafad yang digunakan pada maknanya menurut pengertian bahasa. Sebagai contoh kata “Manusia  untuk semua hewan yang berakal.
2.      Haqiqah Syari’yah, yaitu lafad yang ditetapkan oleh syara’  atau lafad yang digunakan yang makna nya ditentukan oleh Sayara’. Sebagai contoh lafad “Shalat” igunakan untuk perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir disudahi dengan salam.
3.      Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid II Haqiqah urfiyah Khassah, yaitu lafad yang ditetapkan menurut kebiasaan suatu lingkungan tertentu. Atau lafad yang digunakan untuk arti menurut kebiasaan tertentu yang biasa digunakan oleh suatu kelompok  atau sebagian diantaranya. Sebagai contoh pemakaian lafaz “Ijma’” dikalangan ulama fiqih.
4.      Haqiqah urfiyah amah, yaitu lafad yang ditetapkan oleh kebiasaan yang berlaku secara umum, atau lafaz yang digunakan dalam makna menurut berlaku dalam kebiasaan umum,  contoh nya kata “Dabbah” untuk bahasa arab hewan ternak yang berkaki empat.


D.    Penyebab Tidak berlakunya haqiqat
Pada dasarnya dalam setiap mengunakan lafaz harus dalam bentuk lafaz  Haqiqat, dalam pengertian tidak boleh beralih kepada lafaz yang lain kecuali bila ada suatu Qarinah yang membolehkan untuk berpindah kepada lafaz yang bukan lafaz Haqiqat. Dalam hal ini ada beberapa hal yang menghalangi untuk digunakan lafaz Haqiqat disebabkan kondisi yang menghendaki seperti itu diantaranya adalah :
1.      Adanya petunjuk pengunaan secara U’rf  (kebiasaan) dalam pengunaan lafaz. Seperti lafaz Shalat bila ditelusuri secara makna haqiqat shalat adalah Doa, tetapi lafaz shalat tersebut sudah menjadi hal yang dapat dimaklumi digunakan untuk suatu perbuatan ibadah yang diawali dengan takbiratul ihram dan disempurnakan dengan salam.seperti Firman Allah dalam Qs Thaha ayat 14
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي
Arinya : Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.
 Dalam Firman Allah diatas  pengunaan kata shalat dalam pengertian haqiqat tidak dipergunakan lagi , karena lafadh shalat tersebut sudah dijadikan U’rf  yaitu suatu pekerjaan yang diawali dengan takbiratul Ihram dan diakhiri dengan salam.
a.       Adanya petunjuk lafaz. Dalam hal ini suatu lafaz yang member petunjuk kepada sesuatu secara Haqiqat , namun yang dimaksud bukan pada lafaz tersebut. Contoh pada kata “Daging” yang masih bersifat umum.
b.      Adanya petunjuk berupa aturan dalam mengungkapkan suatu ucapan.  Dalam mengungkapkan suatu ucapan adanya aturan, sehingga diucapkan dengan cara lain walaupun dalam bentuk Haqiqat, maka harus kembali kepada yang ada walaupun diluar haqiqat,
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
                             
Artinya : Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang lalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”
       Secara haqiqat ungkapan ayat ini memberi pilihan kepada orang untuk beriman atau untuk kafir, namun karena diujung ayat ada ancaman bagi orang Zhalim yang kafir . maka ayat ini tidak dipahami menurut Haqiqatnya tetapi dengan arti lain yaitu keharusan beriman dan dalam hal ini tidak ada pilihan.
c.       Adanya petunjuk dari sifat pembicara. Meskipun sipembicara menyuruh sesuatu yang menurut haqiqat berarti menuntut apa yang diucapkan, namun dari sifat pembicara tersebut dapat diketahui bahwa ia tidak mengiginkan sesuatu apa yang diucapkan secara haqiqat,
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
Arinya : Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan ajakanan mu”
                   Walaupun ayat diatas , haqiqatnya mengandung “perintah”,namun setiap orang mengetahui bahwa ucapan itu bukan perintah, karena tidak ada yang menyangkal bahwa Allah tidak menyuruh untuk kufur.
d.      Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pemnbicaraan. Berdasarkan kepada pengunaan lafaz, maka lafaz tersebut harus dipahami apa adanya, namun ada petunjuk tempat yang menghalangi kita untuk memahami lafaz itumenurut haqiqat.[9]

E.           Lafaz Majaz
Lafaz majaz adalah bahagian dari pengunanaan lafaz itu sendiri sehingga oleh para ulama berbeda pula dalam menafsirkan tentang pengertian lafaz itu sendiri. Walaupun berbeda dalam penafsiran namun tujuan adalah sama, mungkin letak perbedaan dalam menafsirkan arti majaz tersebut adalah cara pandang mereka yang berbeda. Diantara nya adalah

1.      Menurut al-Sarkhisyi beliau menyebutkan yang dimaksud dengan majaz adalah

اسم لكل لفظ هو مستعار لشيء غير ماوضع له
Nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud diluar apa yang ditentukan[10]
2.      Ibnu Qudamah memberikan pengertian lafaz majaz adalah
هو اللفظ المستعمل فى غير موضوعه على وجه يصح
Lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang digunakan.[11]
3.      Sedangkan majaz menurut Ibnu Subki adalah
هو اللفظ المستعملو بوضع ثان لعلاقة
Lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya kaitan[12]
                 Dari beberapa definisi yang telah diungkapkan oleh para ulama yang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan pengertian majaz tersebut adalah.
a.    Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya sebagaimana yang dimaksud oleh ungkapan bahasa.
b.   Lafaz yang bukan menurut arti dasarnya itu dipinjamkan untuk digunakan dalam member arti apa yang dimaksud
c.    Sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran dari arti lafaz yang dipinjamkan adalah punya kaitannya.
                 Seperti contoh pada kata “kursi” dipinjam pakai untuk kata “kekuasaan”, lafaz kursi menurut haqiqat adalah tempat “duduk” , antara tempat duduk dan kekuasaan adalah suatu kaitan yang sangat erat bagaikan benang basah yang sulit untuk dipilahkan.
                 Pada dasarnya setiap orang bila ingin mengunakan lafaz maka mereka lebih condong mengunakan lafaz yang haqiqat karena lebih untuk dipahami oleh aidiens. Namun ada hal-hal yang menghalanginya, sehingga oleh pengguna lafaz mengunakan dengan lafaz majaz. Diantara  beberapa hal tersebut yang menghalangi dalam pengungkapan lafaz haqiqat adalah :
1.   Karena masyyiqqah (berat) untuk mengucapkan lafaz menurut haqiqat, dengan demikian maka mereka akan mengalih kepada lafaz majaz.
2.   Karena dianggap kata tersebut dalam pengungkpan kurang sopan atau dengan kata lain dianggap kata-kata yang jorok.
3.   Kata-kata majaz lebih mudah dipahami oleh pendengar.
4.   Untuk meperindah bahasa dalam ungkapan.
               Dalam lafaz majaz para Ulama juga membagi kepada beberapa kategori, dalam pemahamannya majaz tidak hanya berpatokan pada  definisi yang telah penulis sebutkan  diatas diantaranya adalah  :
a.       Majaz Ziyadah ( tambahan dari susunan kata ) menurut bentuk yang sebenarnya, bila kalimat tersebut tidak dihilangkan maka akan memberikan arti yang jauh dari kemungkinan yang ada. Sebagai contoh dalam firman Allah pada QS : al-Syura (42)
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya : …. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

b.       Majaz Nuqsan ( adanya kekurangan ) dalam susunan suatu kalimat dari pengertian kalimat yang sebenarnya. Bila kalimat tersebut zahir pada kalimat tersebut maka akan mudah dipahami oleh pembaca. Seperti contoh Allah menyebutkan  dalam firmannya pada QS : Yusuf ( 12 ) : 82
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
Artinya : Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar".
c.        Majaz Naqal ( Menukarkan) dalam susunan suatu kalimat dari pengertian kalimat yang sebenarnya, sehingga kalimat dipergunakan yang bukan pada asalnya, seperti Firman Allah dalam QS An-Nisa ayat 11 .
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Artinya : ….Sesudah menegluarkan wasiatnya dan membayarkan Hutangnya

d.       Majaz Istia’rah ( Meminjamkan ) suatu kalimat yang bukan pada kalimat yang sebenarnya, seperti meminjamkan kata Singga untuk orang pemberani.[13]


F.     Kesimpulan.
            Penerapan atau penetapan hukum dalam suatu masyarakat bertujuan untuk mengendalikan kehidupan masayarakat itu sendiri. Hukum adalah suatu system yang ditegakkan untuk melindungi hak individu dan masyarakat. Sistem hukum disetiap masyarakat memiliki sifat , karakteristik, dan ruang lingkup tersendiri. Alquran dan Sunnah sebagai  sumber  hukum Islam, sebagian besar masih bersifat umum atau global. Memuat prinsip-prinsip dasar dan pesan-pesan moral.  Karakteristik Alquran yang demikian itu menunjukkan bahwa manusia diberi wewenang untuk melakukan interpretasi dan penjabaran sesuai dengan kondisi social disetiap masyarakat
            Begitu pula oleh ulama Ushul meletakkan perbedaan diantara  lafaz-lafaz yang ada dalam Alquran untuk dijadikan sebagai sandaran hukum, yaitu memilah antara lafaz yang disebut dengan lafaz Haqiqat dan lafaz majaz, bila hal itu tidak dilakukan oleh ulama ushul maka menurut penulis rasakan akan terjadi kesalahan dalam memahami kandungan ayat Alquran, maka akan salah pula dalam pengamalannya. Untuk itu penulis rasa sanggatlah banyak faedah atau mamfaat ketika ulama usul melakukan dan merumuskan lafaz-lafaz tersebut










DAFTAR PUSTAKA
Yusuf Qardawi, Al-Ijtihad Fi as-Syaariyah al-Islamiyah , Alih Bahasa Ahmad Syartawi, Cet I Jakarta, Bulan Bintang, 1987

Abd Latif Ahmad Bin al-Khatib, Nufhati  A’la Syarhi Warqat,  Jeddah : Tab’aah Wannusyur  tt .

Abn al-Subki, Ta’j al-Din ‘Abd Wahab, Jam al-Jawami’ jilid I,  Mesir : Musthafa al-Babi al-Halabi, 1937

Qudhamah Ibn, al-Mughni,  Kairo  : Maktabah al-Qahiriyah, 1969

Sharkhsi, Abu Bakar Muhammad ibn Ahmad ibn abi sahl, Ushul  Syakhisyi,  Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah , 1993

Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh jld II, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, cet V 2005

Hasan Ahmad, Pintu Ijtihad sebelum Tertutup, Alih Bahasa Agah, Granadi, Jakarta: Balai Pustaka, 1984

Syafii Rahmad’ Prof.Dr MA. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CV.Pustaka Setia 2007



[1] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad sebelum Tertutup, Alih Bahasa Agah, Granadi (Balai Pustaka), 1984) hal 15.
[2] Yusuf Qardawi, Al-Ijtihad Fi as-Syaariyah al-Islamiyah , Alih Bahasa Ahmad Syartawi, Cet I (Jakarta, Bulan Bintang, 1987 ) , hal 126-127
[3] Rahmad Syafii’, Ilmu Ushul Fiqh ( Bandung. CV.Pustaka setia  Tahun 2007) hal 312.
[4] Ahmad Bin Abd Latif al-Khatib, Nufhati  A’la Syarhi Warqat ( Jeddah : Tab’aah Wannusyur  tt) hal 39.
[5] Abn al-Subki, Ta’j al-Din ‘Abd Wahab, Jam al-Jawami’ jilid I ( Mesir : Musthafa al-Babi al-Halabi, 1937 ), hal 300
[6] Ibn Qudhamah, al-Mughni ( Kairo  : Maktabah al-Qahiriyah, 1969) hal 98
[7] Sharkhsi, Abu Bakar Muhammad ibn Ahmad ibn abi sahl, Ushul  Syakhisyi (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah , 1993) hal 67
[8], Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jld II ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, cet V 2005), hal 25.
[9] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jld II, hal 32
[10] Ibid. hal 67.
[11] Ibid. hal 99
[12] Ibid. hal 301
[13] Ahmad Bin Abd Latif al-Khatib, Nufhati  A’la Syarhi Warqat ( Jeddah : Tab’aah Wannusyur  tt) hal 45-49.

No comments:

Post a Comment

mohon tinggalkan komentar anda