Sunday, January 2, 2011

KAITAN ANTARA ILMU PENGETAHUAN, FILSAFAT DAN AGAMA

Pendahuluan
Manusia dibedakan oleh seluruh makhluk lainnya di alam dengan adanya akal dan perasaan. Kemampuan akal dan perasaan menuntun manusia untuk meneruskan kehidupan manusia. Dengan mempergunakan keduanya manusia dapat mengambil manfaat dari alam, dengan perlahan mengubah alam yang pada awalnya ganas dan tak bersahabatan menjadi tempat perlindungan dan sumber pemenuhan kebutuhan manusia. Berbeda halnya dengan hewan dan tumbuhan yang tidak dikarunia akal, kehidupan yang mereka jalani hanya berdasarkan insting sebagai reaksi yang muncul dari alam. Sehingga kehidupan hewan dan tumbuhan bersifat jumud, alamiah, statis dan tak berubah. Sedangkan manusia senantiasa melakukan inovasi dan spekulasi yang merupakan karakter utama dari akal dan hati. Maka, dengan keduanya manusia membangun peradabannya.
Aktualisasi dari penggunaan akal dan hati secara sederana melahirkan tiga media utama pengetahuan, yaitu ; filsafat ilmu pengetahuan dan agama. Ketiganya diakui bertujuan untuk mencari makna kebenaran. Beberapa golongan pemikir manusia kerap menyandingkan ketiganya dalam upaya memperoleh sebuah kebenaran yang diyakini. Ketiganya dengan kelebihan dan kekurangan pada metodologi masing-masing disatukan dalam satu kerangka pemikiran sehingga diharapkan saling menutupi kelemahan masing-masing. Ketika kelemahan pada ketiganya dapat diminimalisir maka akan memudahkan untuk dapat lebih dekat kepada kebenaran.
Akan tetapi dilain pihak beberapa pemikir manusia lainnya menganggap bahwa ketiganya bukanlah media yang sama. Diantara mereka ada yang mengagungkan salah satu saja dan menyalahkan yang lainnya, atau mengagungkan dua dari ketiganya dan mencemoohkan yang satu. Sehingga ketiganya kerapsaling berhadapan dan menyalahkan. Meskipun ketiganya muncul dengan latar belakang yang sama, akan tetapi berakhir dengan perbedaan yang saling menyalahkan.
Secara garis besar terdapat dua pendapat besar dalam kaitan antara ilmu pengetahuan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama. Pendapat pertama mengatakan bahwa hanya filsafat dan ilmu saja yang merupakan sarana untuk mencari kebenaran pada manusia. Pendapat kedua menyatakan bahwa agamalah satu-satunya yang mengandung kebenaran sedangkan ilmu dan filsafat hanya bersifat nisbi belaka. Beranjak dari persolaan ini, penulis akan mengulas dalam bentuk penulisan yang objektif, tidak memihak
Ilmu dan Filsafat di Satu Akar dan Agama di Akar Lain
Pendapat yang menyatakan bahwa hanya ilmu dan filsafat yang merupakan sarana pencari kebenaran sedangkan agama bukanlah sumber kebenaran. Bahkan agama termasuk dalam kategori kesalahan yang harus dihilangakan dalam kehidupan manusia. Pendapat ini dikemukan oleh beberapa pemikir Barat yang banyak memberikan corak dan warna dalam pembentukan pemikiran barat. Semenjak David Hume, seorang yang beraliran empiris menyatakan bahwa pengetahuan manusia hanya pada pengetahuan indrawi . Maka segala hal yang tidak dapat dindrai oleh indra manusia (panca indra) bukanlah pengetahuan, melainkan hanya khayalan sesat belaka. Pengetahuan yang benar adalah proses penerimaan objek melalui indra, kemudian diterima akal dengan apa adanya, lalu dilakukan proses pemilahan dan pengingatan data. Maka data yang kerap sesuai dengan fakta yang terlihat disebut dengan pengetahuan.
Kemudian terbangunlah pendapat besar bahwa kebenaran hanyalah sesuatu yang bersifat ilmiah. Ilmiah diartikan sebagai upaya pencari kebenaran yang sistemik dan dapat dipercaya. Maka segala pengetahuan yang tidak berdasarkan metode ini dianggap hanya khayalan, agama termasuk kategori pengetahuan yang bersifat khayalan. Pernyataan ini secara jelas diungkap oleh Auguste Comte (abad ke-19) bahwa rasionalitas ilmiah merupakan rasionalitas yang terdapat pada fisika dan ilmu pasti, sedangkan agama hanya dapat dilihat sebagai mitos dan ajaran etika saja.

Agama Merupakan Akar Utama Pengetahuan
Semua filosof muslim berpedidikan seperti Ibn Miskawaih (932-1030), al Ghazali (1059-1111), Allamah Muhammad Iqbal sependapat bahwa sumber semua pengetahuan adalah Yang Kudus atau Yang Ilahi (Tuhan) . Pendapat mereka secara gamblang tertulis dalam al Qur’an bahwa Allah mengajarkan Adam nama dari benda-benda. Nama benda-benda berarti unsure pengetahuan, baik yang duniawi mau pun bukan yang duniawi. Kisah yang dipaparkan dalam al Qur’an tersebut menjadi landasan bahwa agama merupakan akar semua pengetahuan, baik yang berada dalam khazanah filsafat mau pun ilmu pengetahuan.
Prinsip utama yang menjadi landasan pendapat ini adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Maka setiap tindakannya harus berdasarkan dari amanah yang dititipkan oleh-Nya. Sedangkan untuk memahami maksud dan amanah penciptaan berdasarkan ajaran agama, sehingga dengan demikian agama menjadi landasan bahkan sumber utama kehidupan manusia. Agama bersifat mutlak absolute, karena berdasarkan dari Tuhan. Sedangkan filsafat dan ilmu pengetahuan hanya bersifat nisbi, karena lahir dari manusia yang terbatas.
Mendudukan Kedua Pendapat
Sejarah pengetahuan diakui lahir dari kegiatan berfilsafat. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A dalam bukunya Filsafat Ilmu menyatakan bahwa secara histories ilmu berasal dari kajian filsafat karena awalnya filsafatlah yang melakukan pembahasan yang ada secara sistematis, rasional dan logis, termasuk juga hal yang empiris . Kemudian kajian-kajian tersebut mengalami spesialsasi. Kajian terhadap alam terbagi kepada spesialsasi yang beragam sehingg melahirkan ilmu-ilmu alam ; astronomi, kedokteran, biologi, astrologi dan sebagainya.kajian-kajian ilmu kemanusian (humaniora) terspesialisasi ke beragam displin ilmu-ilmu social ; antroplogi, sosiologi, psikologi, politik dan sebagainya.
Kajian ilmu yang lebih khusus artinya hanya diperuntukkan terhadap sesuatu yang empiric (dapat dipahami dengan indra) menjadikan ilmu bekembang dengan pesat. Bahkan terkadang mengabaikan filsafat yang menjadi peletak dasarnya. Secara pesat dan tersistem ilmu berkembang merambah lautan dan mendaki pegunungan bahkan menjelajah antariksa. Sedangkan filsafat kelihatan semakin terbelakang dan surut, hal ini disebabkan oleh ruang lingkup bahasan yang semakin sempit, juga kajiannya yang amat umum-jelas berbeda dengan ilmu-, ditambah lagi kegiatan berpikira yang dilakukan filsafat bersifat spekulasi, atau mereka dengan fakta-fakta yang rasional-relatif, factor-faktor inilah yang kemudian menjadikan filsafat tumbuh secara lambat. Untuk lebih jelas akan kita sadur pendapat Endang Saifuddin Anshari, MA dalam membagi cabang kajian filsafat, sebagai berikut :
1) Metafisika, filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, tentang hakikat yang bersifat transenden, di luar atau di atas jangkauan pengalaman indra manusia.
2) Logika, filsafat tentang berpikir yang benar dan salah.
3) Etika, filsafat tentang tingkah laku yang baik dan yang buruk.
4) Estetika, filsafat tentang kreasi yang indah dan jelek (seni).
5) Epistemology, filsafat tentang ilmu pengetahuan.
6) Filsafat-filsafat khusus lainnya, seperti ; filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat agama, filsafat pendidikan .
Penggolongan kajian filsafat tersebut berdasarkan tiga objek pembahasan filsafat, yaitu :
a. Tentang Tuhan
b. Tentang Manusia
c. Tentang Alam
Filsafat dengan media akal sebagai penyingkap kebenaran membutuhkan ilmu pengetahuan dalam menyokong analisa terhadap gejala-gejala pada alam dan manusia. Dan ketika membahas mengenai ketuhanan mereka mebutuhkan satu media lagi yaitu agama. Maka dalam hal ini terjadi perbedaan antara para filosof, di antaranya para psiko analis mengungkapkan bahwa adalah fiksi murni (karangan manusia) yang dilahirkan dari kelemahan manusia. Agama adalah jalan keluar dari ketakutan, kekerasan, dan kedahsyatan realitas yang dihadapi manusia dari semua sisi . Sehingga dengan pengertian ini agama dianggap hanya hasil imajinasi manusia yang lemah ketika tidak lagi dapat menyingkap dan menghadapi kenyataan kehidupan.
Sudah menjadi kesepakatan yang tak terbantahkan bahwa manusia merupakan makhluk yang terbatas, baik kemampuan fisik mau pun intelektual. Maka tidaklah mengejutkan kalau manusia akan merasa lemah, akan menganggap bahwa ada suatu zat di luar dirinya yang telah menciptakan dan memberikan kemampuan kepadanya. Hal ini hanya dapat diterima dengan keyakinan. Immanuel Kant sendiri meski pun tidak mengakui agama menyadari hal ini, meski pun ia menyebutnya hanya sekedar phenomena, Henry Bergson secara tegas menyetujui hal ini dengan menyebutnya sebagai intuisi. Sebutan tersebut sama hal dengan makna agama, yaitu pengetahuan yang bersifat transenden (dari luar diri manusia), yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan. Mathew Arnold mengungkapkan bahwa agama merupakan hubungan akrab manusia dengan sumber mutlak dari seluruh kehidupan dan keberadaan . Sumber mutlak tersebut adalah Tuhan, yang hanya dipahami melalui agama.
Maka dalam hal ini dapat disusun sebuah hirarki bahwa ilmu membahas pengetahuan yang khusus pada hal-hal yang dapat dindera, dan terhenti hanya sampai disitu, kemudian filsafat menjawab hal-hal yang lebih luas dan mendasar pada manusia dengan menggunakan bantuan ilmu, namun ia hanya akan sampai pada objek yang dapat dijangkau akal saja, ketika berbicara mengenai asal muasal diri, alam, penciptaan dan etika ia terhenti, maka muncullah agama sebagai penyempurna kedahagaan intelektual manusia. Manusia kemudian mengaktifkan faskultas-fakultas pada dirinya dalam mengungkap kebenaran dan pengetahuan dengan indera, akal, hati dan wahyu. Seorang atheis pernah berkata bahwa aku tak percaya kepada Tuhan tapi aku melihat-Nya dimana-mana.

No comments:

Post a Comment

mohon tinggalkan komentar anda